08 Juli 2009

Inilah Rahasia Kemenangan SBY-Boediono




KOMPAS.com/Kristianto Purnomo
Putra kedua Susilo Bambang Yudhoyono, Edhie Baskoro Yudhoyono, calon presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan istri Ani Yudhoyono serta menantu Annisa Pohan (kiri ke kanan) menggunakan hak suaranya pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden di TPS 03 Desa Nagrak, Gunung Putri, Bogor, Rabu (8/7).


Kamis, 9 Juli 2009 | 06:43 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Direktur Eksekutif Lingkaran Survei Indonesia Denny JA menyebutkan, kemenangan SBY-Boediono disebabkan, pertama, posisi SBY sudah sangat kuat sebelum kampanye dimulai.

Kedua, masa kampanye satu bulan memang berhasil menurunkan Yudhoyono dan menaikkan Jusuf Kalla, tetapi tidak signifikan untuk dua putaran. Ketiga, kepribadian Yudhoyono sangat disukai dan sulit digoyahkan.

Keempat, publik umumnya puas dengan kondisi hidup di berbagai sektor sehingga menguntungkan incumbent. Kelima, umumnya publik puas dengan kinerja Yudhoyono sebagai presiden. Keenam, mayoritas publik memang ingin satu putaran saja.

Sementara tambahan suara yang sangat besar bagi pasangan Mega-Pro, menurut Denny, karena peran Prabowo. Selain itu, konstituen PDI-P juga solid. ”Kalau Prabowo maju sebagai calon presiden, hasilnya bisa lain. Karena pesona Prabowo lebih segar, lebih militan sehingga daya ungkit Prabowo sebagai capres lebih besar,” ujar Denny, Rabu (8/7).

Sementara itu, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Lili Romli, menilai, keunggulan Yudhoyono merupakan hasil perpaduan antara figur dan pencitraan.

Hal senada dinyatakan Direktur Eksekutif Cirus Surveyors Group Andrinof A Chaniago. Menurut dia, dalam memilih, rakyat menempatkan porsi kepribadian calon lebih besar ketimbang soal kemampuan calon. Dengan 80 persen pemilih berpendidikan SLTP ke bawah, pilihan lebih ditentukan faktor selera. ”Calon lain tidak sesuai dengan selera masyarakat, misalnya yang dilihat soal kesantunan,” katanya.

Menurut Lili, dengan dukungan yang besar dan kekuatan politik di parlemen yang signifikan, keinginan untuk mewujudkan pemerintahan efektif dan kuat bisa terwujud. Namun, semua itu bergantung pada kepemimpinan Yudhoyono dan kinerja kabinetnya. Demokrasi Indonesia, lanjutnya, punya masa depan yang baik jika Partai Golkar dan PDI-P memainkan peran sebagai oposisi yang sehat demi menegakkan mekanisme checks and balances.

Ini Dia Biang Kekalahan JK-Wiranto




Ekspresi calon presiden Jusuf Kalla tampak kelelahan sore hari, Rabu (8/7), setelah berulang kali memberi pernyataan mengenai respon dan sikapnya terhadap hasil quick count.

Kamis, 9 Juli 2009 | 06:52 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com — Menurut Zulfahmi, ketua tim program hitung cepat Lembaga Riset Informasi, salah satu penyebab kekalahan pasangan JK-Wiranto adalah konstituen Partai Golkar tidak solid.

Sebanyak 43 persen konstituen Partai Golkar memberikan suara ke pasangan Kalla-Wiranto. Jumlah itu nyaris berimbang dengan konstituen Golkar yang memberikan suara ke pasangan Yudhoyono-Boediono, yakni 39 persen.

Hal serupa dilakukan konstituen Partai Hati Nurani Rakyat. Sebanyak 40 persen memilih pasangan Kalla-Wiranto, sedangkan 36 persen memilih Yudhoyono-Boediono.

Pendapat serupa juga disampaikan pengamat politik Duma Socratez Sofyan Yoman di Jayapura, Kamis (9/7).

Mesin politik dari partai politik (Parpol) pendukung calon presiden M.Jusuf Kalla (JK) dan calon wakil presiden Wiranto (Win) yaitu Partai Golkar dan Partai Hanura dinilai bekerja sangat lemah.

"Kita perlu sadar,mesin politik yang menggerakkan semangat berjuang untuk memenangkan Pilpres dari pasangan JK-Win sangat lemah. JK sendiri sejak awal pencalonan dirinya menjadi Capres tidak mendapat dukungan signifikan dari elite politik parpol berlambang pohon beringin itu," kata staf pengajar Sekolah Tinggi Teologia Gereja Baptis Papua itu.

Elit politik Golkar di tingkat Pusat (DPP Partai Golkar) yang tidak sepenuhnya mendukung pencalonan JK berpengaruh sampai ke tingkat DPD Golkar di berbagai provinsi dan DPC Golkar di banyak kabupaten/kota sehingga pada akhirnya JK menuai kekalahan yang cukup telak di banyak wilayah.

Sedangkan Partai Hanura yang mengusung Wiranto menjadi Cawapres mendampingi Capres JK dinilai sebagai Parpol baru yang belum banyak dikenal rakyat sekaligus merupakan parpol kecil di tingkat nasional hingga ke daerah-daerah sehingga mesin politiknya pun belum dapat bekerja secara maksimal.

"Apabila mesin politik Golkar bekerja utuh dan maksimal maka belum tentu Pilpres berlangsung satu kali putaran," kata Socratez.

Selain itu, lanjutnya waktu sangat singkat antara Pemilihan Umum Legislatif (Pileg) dengan Pilpres. Persiapan yang kurang matang dalam waktu yang sangat singkat menjadi faktor lain dari kekalahan JK-Win.

Sementara itu, kubu JK-Wiranto mengaku bisa memahami hasil penghitungan cepat yang dilakukan sejumlah lembaga survei yang mengunggulkan SBY-Boediono. Meski begitu, mereka masih akan menunggu hasil penghitungan resmi dari KPU. Kubu JK-Wiranto juga menengarai ada sekitar 30 bentuk pelanggaran selama pilpres berlangsung.(ANT/ONO)

Mega Risaukan Kisruh DPT Jilid II




Minggu, 28 Juni 2009 | 21:06 WIB

JAKARTA, KOMPAS.com - Calon presiden Megawati Soekarnoputri, yang juga ketua umum partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), khawatir kisruh daftar pemilih tetap (DPT) pada Pemilu Legislatif kembali terulang pada Pemilu Presiden pada tanggal 8 Juli mendatang. Hal ini misalnya tercermin dari belum selesainya DPT di 16 provinsi di Indonesia.

Pasangan calon wakil presiden Prabowo Subianto tersebut juga mempertanyakan ditutupnya sekitar 68.000 tempat pemungutan suara (TPS) di Indonesia. "Dikhawatirkan TPS-TPS yang menjadi basis massa PDI-P turut ditutup sehingga para pemilih loyal kami jadi malas memberikan suara karena harus berjalan jauh ke TPS lainnya," ujar Mega ketika berkunjung ke Redaksi Kompas, Minggu (28/6) malam di Jakarta.

Mega menghimbau para kontender Pemilu Presiden agar jangan hanya memikirkan menang-kalah dalam pertarungan tersebut. Sebaliknya, pemimpin puncak partai wong cilik tersebut mengajak para pesaingnya untuk memikirkan proses demokratisasi di Indonesia. Dirinya juga mengingatkan, jika kisruh DPT kembali terulang, bukan tidak mungkin banyak rakyat yang akan turun ke jalan dan protes.
Safir Nur Hadid
1083111001